BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ingin
sukses sepperti orang lain
وَ
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍِ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّم قَالَ : لَا حَسَدَ
إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٍ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى
هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٍ آتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا
وَيُعَلِّمُه (متفق عليه)
“Dan dari Ibnu Mas’ud RA. Dari Nabi Muhammad SAW. Bersabda : Tidak boleh iri (dengki) kecuali kepada dua hal. (Yaitu kepada) seorang yang Allah berikan kepadanya harta lalu dia menguasainya dan membelanjakannya di jalan yang haq (benar) dan seorang yang Allah berikan hikmah (ilmu) lalu dia melaksanakannya dan mengajarkannya (kepada orang lain) ". (Muttafaqun ‘alaih)
Di dalam hadits ini terdapat kata hasad,akan tetapi hasad dalam hadits
ini berbeda pengertiannya dengan hasad yang telah disebutkan diatas, hasad yang
ini disebut oleh para ulama’ dengan sebutan Ghibtah yaitu menginginkan
kenikmatan seperti yang telah diperoleh oleh orang lain dengan tanpa benci
kepada orang tersebut, serta tidak mengharapkan kenikmatan itu musnah darinya.
Syeikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad hafidzahullah dalam menjelaskan hadits
diatas berkata; “yang dimaksud hasad disini adalah ghibtah”.[1]
Imam An-nawawi rahimahullah mengatakan, “ghibtah adalah ingin mendapat
kenikmatan sebagimana yang diperoleh oleh orang lain dengan tanpa mengharapkan
nikmat tersebut musnah darinya. Jika perkara yang di ghibtah tersebut adalah
perkara dunia, maka hukumnya adalah mubah (boleh), jika perkara tersebut
termasuk perkara akhirat, maka hukumnya adalah mustahab (sunnah), dan makna
hadits diatas adalah tidak ada ghibtah yang dicintai (oleh Allah) kecuali pada
dua perkara (yang tersebut diatas) dan yang semakna dengannya”.[2]
Dengan demikian, hendaknya seorang muslim senantiasa membersikan hatinya
dari penyakit hasad dan menggantinya dengan ghibtah.
Adap pesan
untuk penuntut ilmu dari imam syafie yang
antara lain:
1.
Zaka’un yang artinya cerdik atau
pandai, yakni tidak bisa tidak seseorang itu harus bisa sepandai mungkin
memahami suatu pelajaran yang dipelajarinya.
2.
Hirshun artinya rakus, yakni
seorang penuntut ilmu harus mempunyai sifat tamak yang dalam arti tamak dengan
ilmu pengetahuan tidak pernah cukup dengan ilmu yang didapatinya.
3.
Ijtihadun artinya bersungguh-sungguh, yakni
seorang penuntut ilmu harus disiplin dan serius dalam mempeljari suatu ilmu
sedikit demi sedikit dan setahap demi setahap dan tidak pernah main-main.
4.
Bulghotun artinya sampai, maksud
disini adalah seorang penuntut ilmu harus memiliki dana atau uang atau apapun
agar bisa memperoleh ilmu tersebut seperti membeli kitab, buku tulis, alat
tulis dan lain sebagainya.
5.
Thuluz zaman artinya lama masa,
yakni belajar itu membutuhkan waktu yang panjang bukan setahun dua tahun udah
bisa tetapi belajar itu harus membutuhlkan proses yang sangat lama.
6.
Irsyadun Ustaz artinya petunjuk
guru, yakni seorang murid harus mempunyai guru yang Mursyid yang memang ahli
dalam bidang yang sedang dia pelajari sehingga ilmu itu benar-benar 100%
didapatinya.
B.
Ingin Menjadi Orang yang Kuat
عَنْ
اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّم ,الْمُؤْمِنُ
الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى
كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ
وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا.
وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ
الشَّيْطَانِ (روه
مسلم)
“Dari
Abi Hurairah RA. Rasulullah bersabda :Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih
dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Akan tetapi, keduanya tetaplah
memiliki kebaikan. Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta
tolonglah pada Allah, dan jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah,
maka janganlah engkau katakan, ‘Seandainya aku berbuat demikian dan demikian.’
Akan tetapi hendaklah engkau berkata: ‘Ini sudah menjadi takdir Allah. Setiap
apa yang Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena perkataan “lau” (seandainya)
dapat membuka pintu setan.” (HR. Muslim)
Syaikh Muhammad ibn Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah telah
menjelaskan maksud perkataan “mukmin yang kuat” dalam Syarh Riyadh
Ash-Shalihin,
“Yang dimaksud dengan mukmin yang kuat adalah
kuat imannya, bukanlah yang kuat badannya. Karena kuatnya badan bisa
membahayakan manusia jika dia menggunakan kekuatannya ini untuk bermaksiat
kepada Allah. Kuatnya badan belum tentu mutlak terpuji ataupun tercela.
Apabila orang tersebut menggunakan kekuatan ini dalam hal yang bermanfaat
bagi dunia dan akhiratnya, maka kekuatan itu menjadi suatu hal yang terpuji.
Akan tetapi, jika kekuatan ini justru membantu dia melakukan tindak maksiat
terhadap Allah, maka kekuatan ini malah menjadi tercela.
Akan tetapi, kata kuat yang dimaksud dalam sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam “Mukmin yang kuat” yakni kuatnya iman, karena kata kuat
kembali kepada hal yang disifati sebelumnya, yaitu iman. (kata “kuat” di dalam
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam digunakan untuk menyifati
mukmin, dan kata “mukmin” artinya orang yang beriman, sehingga kata kuat ini
menyifati keimanan yang ada pada diri orang yang beriman.
C.
Sukses Dunia Akhirat
وَعَنْهُ
قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم يَقُوْلُ : الدُّنْيَا
مَلْعُوْنَةٌُ مَلْعَوْنٌُ مَافِيْهَا اِلاَّ ذِكْرَاللّهِ تَعَالَى وَمَاوَالاَهُٔٔٔٔٔٔٔ،وَعَالِمًَا
وَمُتَعَلِّمًَا (روه الترمذي،وقال حديث حسن)
“
Dan darinya berkata : aku mendengar Rasulullah SAW. Bersabda: Dunia itu berisi
laknat, seluruh isinya terlaknat, kecuali zikir kepada Allah dan yang terkait
denganya, atau orang yang berilmu atau terpelajar.”
(HR: Tirmizi dan dia berkata hadits ini hasan).
Imam
Ahmad bin Hambal mengatakan: ” Manusia lebih membutuhkan ilmu dari sekedar
membutuhkan makan dan minum, karena makan dan minum dibutuhkan sekali atau dua
kali sehari, sedang ilmu senantiasa dibutuhkan selama nafas masih dikandung
badan.”
Ibnu Al-Qayim mengatakan:” Orang-orang yang memilki pengetahuan tentang Tuhan-Nya dan tentang perintah-Nya, mereka itulah ruh kehidupan sebenarnya, mereka senantiasa dibutuhkan dan tidak pernah tidak walau sekejap, kebutuhan hati akan ilmu tidak sama dengan kebutuhan nafas akan udara, ia lebih besar!, secara umum ilmu bagi hati ibarat air bagi ikan, jika ia kehilangan maka ia mati, ilmu yang datang kepada hati ibarat cahaya datang kepada mata.”
Ibnu Al-Qayim mengatakan:” Orang-orang yang memilki pengetahuan tentang Tuhan-Nya dan tentang perintah-Nya, mereka itulah ruh kehidupan sebenarnya, mereka senantiasa dibutuhkan dan tidak pernah tidak walau sekejap, kebutuhan hati akan ilmu tidak sama dengan kebutuhan nafas akan udara, ia lebih besar!, secara umum ilmu bagi hati ibarat air bagi ikan, jika ia kehilangan maka ia mati, ilmu yang datang kepada hati ibarat cahaya datang kepada mata.”
Kita
sebagai Mahasiswa yang terampil ilmu dan agama dan dunia tentu mempunyai
strategi jitu, yaitu dengan teknik beradab yang ditanamkan dalam diri, terutama
bagi kita yang sedang menyandang status mahasiswa yang antara lain
1.
Menyadari bahwa menuntut ilmu itu adalah ibadah.
2.
Semakin tinggi ilmu yang kita miliki maka, semakin takut
kita kepada Allah.
3.
Meneladani kisah para salafus shaleh dalam mencari ilmu,
serta keikhlasan mereka dalam menuntut ilmu.
4.
Zuhud dan tawadhu terhadap fatamorgana dunia.
5.
Mengamalkan dan mengajarkan ilmu yang telah didapat.
Karena itu merupakan sebuah amalan yang tidak putus-putus pahalanya,
D. Menjadi
Ulama
وَعَنْ
اَبِي الدَّرْدَاء رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَصُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ
عَلَيْهِ وَسَلّم يَقُوْلُ:مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَبْتَغِي فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ
اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ
أَجْنِحَتَهَا رِضَاءً لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ
لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانُ فِي الْمَاءِ
وَفَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ
الْكَوَاكِبِ إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ
لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ
أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافَرٍ ( رواه الترمذي )
“Dan dari Abi Darda RA. Berkata aku
mendengar Rasulullah SAW. Bersabda :Baransiapa yang berjalan dalam rangka
mencari ilmu maka Allah akan memberikan jalan menuju Jannah. Sessungguhnya para
malaikat benar-benar meletakkan sayapnya kepada orang yang mencari ilmu, karena
ridha terhadap apa yang dicarinya. Para penghuni langit dan bumi sampai hewan-hewan
laut memohonkan ampunan dan rahmat baginya. Kelebihan orang yang berilmu
atas ahli ibadah ialah seperti kelebihan rembulan pada malam purnama atas
seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya orang yang berilmu ( ulama ) adalah
pewaris para nabi. Sedangkan para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham,
tetapi hanya mewariskan ilmu. Maka barangsiap yang mengambilnya ( ilmu ),
berarti ia telah mengambil bagian yang banyak ( melimpah ).” ( HR. At Tirmidzi
)
Mengingat pentingnya ilmu syar’i tersebut, hendaklah kita
bersungguh-sungguh dalam menuntut atau mencarinya. Di antara bentuk kesungguhan
tersebut adalah dengan berusaha menghafalnya sesegera mungkin ketika
memperolehinya. Mafhum, menghafal adalah salah satu bagian yang harus ada pada
diri seorang penuntut ilmu syar’i.
Menghafal itu merupakan pekerjaan yang menyenangkan bagi seseorang jika
dia sudah terbiasa dengannya. Walaupun demikian, menghafal terkadang menjadi
ketakutan tersendiri di masa awalnya menuntut ilmu syar’i. Tidaklah ketakutan
tersebut merupakan waswas (bisikan-bisikan) dari syaitan untuk melemahkan
semangat orang tersebut sehingga dia lari dari menuntut ilmu syar’i.
Al-Hafizh
Ibnu Rajab berkata: “Menempuh jalan menuntut ilmu memiliki dua makna:
1.
Secara hakekat, yaitu melangkahkan
kaki untuk menghadiri majlis ilmu
2.
Lebih luas, yaitu menempuh
berbagai cara yang mengantarkan menuju ilmu seperti menulis, menghafal,
mempelajari, mengulangi, memahami dan lain sebagainya.[3]
Di antara
cara menimba ilmu yang sangat bermanfaat sekali adalah menghimpun fawaid
(faedah) yang kita dengar, lihat, baca dan sebagainya. Nah, rubrik baru ini
merupakan suatu contoh bagi saudara-saudara kami yang haus ilmu. Kami berdoa
kepada Allah agar memberikan manfaat dan pahala atasnya serta contoh bagi para
penuntut ilmu, karena barangsiapa memberikan contoh yang baik dalam Islam maka
dia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya hingga hari
kiamat .[4]
Al-Fawaid diambil dari bahasa Arab الْفَوَائِدُ )) bentuk jama’ (plural) dari kata
mufradnya (tunggal) ( ( الْفَائِدَةُyang secara
bahasa artinya adalah setiap yang engkau dapatkan berupa ilmu, harta dan
sebagainya.[5]
Adapun maksud Al-Fawaid dalam pengertian para penulis kitab adalah sebuah
kitab yang menghimpun beberapa masalah yang beraneka macam mutiara ilmu dan
hal-hal penting yang diperoleh oleh seorang selama perjalanan panjangnya
bersama ilmu, ulama’, kitab, fakta dan sebagainya yang tidak hanya terbatas
pada satu bidang tertentu saja, tetapi mencakup banyak bidang ilmu; tafsir, hadits,
akhlak, bahasa, syair, tarikh, kisah, fatwa dan lain sebagainya.[6]
Manfaat
menghimpun fawaid
- Menjaga dan mengikat ilmu
- Menambah Khazanah Ilmu Pengetahuan
- Barang Simpanan
Di Masa Tua
[1] Syarah Sunan Abu
Dawud, hadits “Iyyakum walhasada” (Maktabah Syamilah 3).
[2] Al-minhaj Syarhu
Shahih Muslim Ibnul Hajjaj (Juz. 6/ Hal. 97. Cet.2 – Dar Ihya’ Turats Al-Arabi
– Beirut).
[3]
Risalah Waratsah Anbiya’ Syarh Hadits Abi Darda’ hal. 12.
[4]
Al-Muntaqa Min Faraid Fawaid hal. 3 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin.
[5]
Ash-Shihah oleh Al-Jauhari 2/521.
[6]
Muqaddimah Fawaid Al-Fawaid Ali Hasan al-Halabi hal. 7